Headlines News :
Tampilkan postingan dengan label Ekonomi Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekonomi Islam. Tampilkan semua postingan

Proses Membangun Jiwa Kewirausahaan

Written By Unknown on Selasa, 18 Oktober 2011 | 13.14

Kehidupan dalam masyarakat kental dengan rasa senasib sepenganggungan menjadi hal akrab bagi kebanyakan masyarakat Asia layaknya Jepang, China, Korea Selatan, dan anggota Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Jadi, tidak usah belajar sikap pandang jejaring sosial dari Barat mengenai "apa maknanya kebersamaan dalam saling menghargai sesama?"

Dalam masyarakat Asia, maka seorang anggota masyarakatnya sejak lahir berada dalam lingkungan jaringan keterkaitan dan dapat dikatakan jarang sekali berada dalam kesendirian.

Jaringan tersebut dalam bahasa China disebut Guanxi, yang mengakar dalam lingkungan para pelaku ekonomi dengan kepemimpinan dan manajemen negerinya, sekalipun organisasi masyarakat dan bisnis makin memasuki keterbukaan sebagai dampak globalisasi. Mereka secara jelas menempatkan Tirai Bambu menjadi globalisasi yang bukan kebarat-baratan (westernisasi) melulu.

Jaringan kerja (guanxi) berlandaskan saling percaya (shinyung) sebagai istilah sudah membudaya dalam masyarakat umum di China, dan merupakan proses interaksi operasi lintas sektoral, yang pasti bukan "serba cepat tanpa mendalami apa maknanya berjaringan kerja".

Sementara itu, masyarakat Jepang sudah sejak dulu kala di eranya Tokugawa dan Meiji mempraktikkan filosofi jin-miyaku, yang maknanya sama dengan guanxi. Bangsa kitapun secara historis mengenal sekaligus "pernah" menghayati makna gotong royong atas dasar saling berbagi makna menang untung semua (win-win).
Masyarakat Asia umumnya hidup dalam keteraturan sosial dan harmoni (social order and harmony). Daya gerak modernisasi membawa masyarakat pada tuntutan keberadaan formal lembaga, seperti hukum dan peraturan untuk mencapai apa yang disebut governance.

Namun, bagi setiap orang Asia sebagai anggota masyarakat, baik sebagai pelaku ekonomi, maupun birokrasi pemerintahan, ada jiwa ketertiban sosial sekaligus harmoni yang tetap tertanam (built in).

Bagi birokrasi pemerintah Asia umumnya yang terkait sebagai salah satu pemangku kepentingan (stake holder) makin diperlukan kesadaran dengan menjunjung tinggi apa artinya melayani dengan "makin baik, makin cepat dan makin murah" (better, faster and cheaper).

Kemudian, mereka diharapkan menjadi pejabat birokrasi dari yang paling senior sampai yang langsung melayani, dalam membangun jaringan kerja dengan memelihara muka yang tulus dan rasa saling mempercayai, walapun awalnya perlu pengorbanan waktu, energi dan biaya dengan tetap menghayati ketertiban sosial dan harmoni (social order and harmony). Ini pula makna sebutan pamong praja yang sejatinya diharapkan bangsa Indonesia dari pejabat birokrasinya.

Bagi masyarakat Asia dalam realita sulit kiranya hanya menggantungkan diri pada pengertian proses rasional komunikasi dalam bentuk tatap muka dan tulisan. Proses berjaringan kerja masyarakat yang harus makin lancar karena terbentuknya hubungan emosional dengan rasa berkewajiban. Itulah yang dihayati sebagai kehidupan dalam masyarakat berjaringan kerja.

Mineo Nakajima, guru besar International Relation and Contemporary Studies di Tokyo University dalam "Confucian Capitalism: Challenge to Global Economy" menyebut adanya lima kebajikan utama dalam Jepang moderen, yakni 1. murah hati (benevolence), 2. sikap berkewajiban (obligation), 3. ritual, 4. kebajikan, dan 5. sikap mempercayai/taat.

Dari ke lima kebajikan, menurut Nakajima, yang harus dijunjung tinggi adalah kewajiban antar-sesama disusul dengan ketaatan. Dalam pengamatannya, tidak ada yang istimewa dalam jin-miyaku atau guanxi, karena yang diperlukan adalah konsistensi, keuletan dan sikap jujur dalam memegang janji. Pengoperasian bisnis dalam lingkungan yang makin terbuka dan moderen justru membutuhkan kesadaran beretika.

Sarana moderen, layaknya jaringan berkomputer (Internet) dengan berbagai fasilitasnya, serta transportasi yang makin efektif dan efisien merupakan pendukung bagai pelumas proses interaksi. Belakangan ini, pelaku bisnis negara Barat pun menilai betapa rasionalnya jejaring sosial ala Asia. Mereka mulai sadar menghargai manusia Asia, sekalipun membutuhkan pengorbanan dalam sikap pandang tersebut.

Dalam proses negosiasi sekaligus interaksi, sadar atau tidak sadar, adanya enam tahapan memahami lawan bicara, apalagi bila melibatkan penerjemah bahasa. Pertama, sikap menjadi pendengar yang penuh perhatian (tidak melantur ke mana-mana) dan menghargai perilaku lawan bicara yang tiada kaitannya dengan negosiasi formal.

Kedua, melakukan tukar-menukar pokok-pokok informasi yang ada kaitannya dengan tujuan negosiasi. Ketiga, menjelaskan isi dan maksud informasi yang disajikan sebelumnya atau pada saat proses negosiasi. Keempat melalui pendekatan formal maupun personal mencari titik-titik temu. Kelima mencapai kesekapatan awal dengan saling memberi penjelasan. Keenam menetapkan jadwal waktu dan rangkaian tahapan umpan balik pelaksanaan pokok-pokok kesepakatan tertulis.

Walaupun di Asia, masyarakatnya mengenal istilah manajemen dengan struktur organisasi, sistem dan staffing, serta pengawasan jadwal implementasinya yang berasal sering diklaim dari Barat memang makin diserap. Dalam realitanya, tindakan "mengatur" di Asia tetap situasional dan tidak universal. Manajemen dalam organisasi besar maupun menengah sampai yang kecil dalam konteks ketertiban sosial dan harmoni.

Model manajemen China dan Asia umumnya memiliki landasan nilai-nilai tradisionalnya, meskipun dalam proses memasuki era keterbukaan globalisasi terdapat integrasi sekaligus asimilasi pemikiran lokal maupun yang berasal dari barat, seperti kelenturan, penyerapan proses menerima berbagai hal baru dan menghargai waktu (just in time) maupun "menjaga muka".

Kalau para pelaku ekonomi dan wirausahawan muda di Indonesia mengkaji sejarah politik, sosial dan budaya bangsa China, Jepang, Korea dan tetangga ASEAN, maka terungkap pergeseran-pergeseran dalam budaya yang menghasilkan sikap yang makin menghargai moderninasi ala Barat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang sudah mengakar dalam dirinya. Di sini, semua pihak secara setara ditantang untuk terus belajar tanpa merasa diindoktrinasi.

Memang masih adanya pengawasan dalam organisasi yang terbatas oleh sekelompok kecil orang dalam yang biasanya anggota keluarga atau "orang dalam". Repotnya, kalau sampai terjadi kekurangmatangan dalam proses pengawasan sekaligus menghargai waktu (just in time).

Proses membuka diri dan langkah menuju modernisasi dalam manajemen bukan westernisasi, tetapi menggerakkan anggota organisasi secara berkesinambungan belajar kemajuan penerapan teknologi informasi dan komunikasi, serta teknologi industri, jasa sekaligus informasi dari sesama Asia dan Barat.

Berbagai hal ini memperlihatkan kemampuan Asia menyerap nilai-nilai Barat yang awalnya bisa dinilai "keras" dalam manajemen, termasuk berjaringan kerja diseimbangkan dengan nilai-nilai yang "lunak", tapi tidak mudah menyerah. Pelaku manajemen Barat, atau dari Asia yang kebanyakan menyerap karena pendidikan kebarat-baratan, banyak yang membawakan perilaku keras tanpa kompromi dalam ambisi, agresif, orentasi prestasi sesuai tujuan, walupun berisiko gagal dalam persaingan.

Barat mengoperasikan tujuan organisasinya dengan kultur yang menonjolkan sikap rasional, yang dalam situasi gagal menonjolkan rasa bersalah (guilt culture), sedangkan Asia lebih memperlihatkan sikap rasa malu (shame culture) berbuat kecerobohan dan kesalahan dalam manajemen pemasaran dan keuangan.

Masyarakat Asia, apalagi China, secara prinsip menghindari konflik. Apalagi, mereka enggan bersaing secara frontal. Tanpa banyak pencitraan diri, mereka lebih menyukai pendekatan melalui tatap muka dan negosiasi langsung, yang belakangan ini didahului dengan komunikasi melalui telepon, sarana Internet yang disebut media jejaring sosial. Tampaknya ada urutan untuk bekerja dalam organisasi ke dalam maupun keluar, baik bisnis maupun organisasi sosial, yakni hubungan interpersonal, disusul dengan logika dan penerapan aturan yang diterima bersama.

Bagi para pemimpin dan manajemen mulai dari puncak, menengah sampai ke bawahan tentu saja memerlukan sikap pandang tiada akhirnya dalam belajar (there is no end in learning). Belajar bersama dalam kelompok-kelompok lintas fungsional --tidak lebih dari lima anggota tiap kelompoknya-- secara teratur dengan pengorbanan tanpa bersikap mencari-cari pencitraan diri, dan tanpa lekas bosan merupakan langkah yang berkesinambungan menuju kematangan diri masing-masing. Inilah proses membangun jiwa kewirausahaan aktual.

Investasi dan tabungan dalam perekonomian Islam

Dengan absennya bunga dalam perekonomian, hubungan investasi dan tabungan dalam perekonomian Islam tidak sekuat seperti yang ada dalam konvensional. 
Dalam konvensional hubungan investasi dan tabungan dihubungkan oleh peran bunga dalam perekonomian. Sehingga bunga menjadi indicator fluktuasi yang terjadi di investasi dan tabungan. Ketika bunga (bunga simpanan dan bunga pinjaman) tinggi maka kecenderungan tabungan akan meningkat, sementara investasi relatif turun. Begitu sebaliknya, ketika bunga rendah, maka tabungan akan menurun dan investasi akan meningkat. 
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi dalam aktivitas tabungan dan investasi dalam konvensional didominasi oleh motif keuntungan (returns) yang bisa didapatkan dari keduanya.

Sedangkan dalam perspektif ekonomi Islam, investasi bukanlah melulu bercerita tentang berapa keuntungan materi yang bisa didapatkan melalui aktivitas investasi, tapi ada beberapa faktor yang mendominasi motifasi investasi dalam Islam. Pertama, akibat implementasi mekanisme zakat maka asset produktif yang dimiliki seseorang pada jumlah tertentu (memenuhi batas nisab zakat) akan selalu dikenakan zakat, sehingga hal ini akan mendorong pemiliknya untuk mengelolanya melalui investasi.

Dengan demikian melalui investasi tersebut pemilik asset memiliki potensi mempertahankan jumlah dan nilai assetnya. Berdasarkan argumentasi ini, aktifitas investasi pada dasarnya lebih dekat dengan prilaku individu (investor/muzakki) atas kekayaan atau asset mereka daripada prilaku individu atas simpanan mereka. Sejalan dengan kesimpulan bahwa sebenarnya ada perbedaan yang mendasar dalam perekonomian Islam dalam membahas prilaku simpanan dan investasi, dalam Islam investasi lebih bersumber dari harta kekayaan/asset daripada simpanan yang dalam investasi dibatasi oleh definisi bagian sisa dari pendapatan setelah dikurangi oleh konsumsi.

Kedua, aktivitas investasi dilakukan lebih didasarkan pada motifasi social yaitu membantu sebagian masyarakat yang tidak memiliki modal namun memiliki kemampuan berupa keahlian (skill) dalam menjalankan usaha, baik dilakukan dengan bersyarikat (musyarakah) maupun dengan berbagi hasil (mudharabah). Jadi dapat dikatakan bahwa investasi dalam Islam bukan hanya dipengaruhi factor keuntungan materi, tapi juga sangat dipengaruhi oleh factor syariah (kepatuhan pada ketentuan syariah) dan factor sosial (kemashlahatan ummat).

Melihat praktek ekonomi kontemporer, definisi investasi cenderung meluas dari definisi orisinilnya. Definisi investasi kini juga digunakan dalam menggambarkan aktivitas penanaman sejumlah capital dalam pasar keuangan konvensional, dimana aktivitasnya berbeda jauh dengan maksud yang terkandung dalam kata investasi itu sendiri yang biasa digunakan dalam sector riil.

Masuk pada makna investasi di sector keuangan tentu aktivitas ini lebih dekat dengan motivasi spekulasi dan capital gain. Prilaku investasi seperti ini tentu akan memberikan wajah atau corak ekonomi yang berbeda, bahkan konsekwensi terhadap interaksi dalam mekanisme ekonomi juga akan sangat berbeda dengan sistem ekonomi non-spekulasi (syariah). Dan yang pasti teori-teori yang terbangun dari analisa prilaku dan kecenderungan dalam mekanisme perekonomian konvensional tentu akan berbeda dengan perekonomian Islam (atau bahkan bertolak belakang). Jadi perlu ditegaskan kembali, bahwa dalam perekonomian Islam spekulasi dalam segala bentuknya atau menanamkan dana atas motif profit atau return dalam bentuk bunga (interest rate) bukanlah investasi!

Selanjutnya melihat segmentasi masyarakat Islam, maka golongan masyarakat yang aktif melakukan aktifitas investasi adalah golongan masyarakat muzakki. Golongan masyarakat ini memiliki potensi melakukan investasi akibat sumber daya ekonominya berlebih setelah memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan untuk berjaga-jaga.

Investasi ini tentu akumulasi dan perannya dalam perekonomian secara makro sangat besar. Dengan berfungsinya sistem zakat dan dilarangnya riba serta spekulasi, maka akumulasi dana besar yang dimiliki oleh golongan muzakki akan ditransfer menjadi investasi, sebagai reaksi untuk menghindari risiko berkurangnya harta mereka akibat kewajiban zakat dan motif ingin menjaga atau bahkan menambah jumlah kekayaan (harta) para muzakki. Berarti akumulasi investasi tersebut akan terus berputar dan berputar. Dengan begitu tingkat velocity akan terjaga atau bahkan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah akumulasi investasi.

Jadi dapat disimpulkan investasi dalam Islam ditentukan oleh beberapa variabel yang diantaranya adalah ekspektasi keuntungan pada sebuah projek, pendapatan dan kondisi perekonomian (bukan oleh tingkat bunga yang selama ini dikenal dalam teori ekonomi konvensional.

Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab tabungan, warga non-muslim yang memiliki kelebihan uang atau harta (idle money) tidak diberi kesempatan oleh sistem untuk bisa menanamkannya dalam pasar keuangan karena pasar tersebut tidak ada (no interest rate and speculative transaction). Pasar keuangan dalam arti konvensional tentunya. Sehingga kelebihan uang atau harta dari warga non-muslim akan mengalir pada aktifitas investasi.

Pembahasan prilaku tabungan dan investasi dalam perspektif Islam ini akan menjadi salah satu landasan dalam pendefinisian dan pengembangan sistem moneter Islam. Karena prilaku tabungan dan investasi dalam Islam jelas sekali berbeda dengan apa yang diyakini dalam ekonomi konvensional.

Menggunakan definisi dan mekanisme investasi yang telah disebutkan diatas, maka investasi menjadi sektor yang tidak kalah penting dalam perekonomian. Sector inilah yang menjelaskan bagaimana kegiatan ekonomi riil dapat bergerak melalui penyediaan instrument-instrumen investasi dan preferensi golongan pemilik modal untuk menggunakan dananya. Realisasi investasi tentu saja ditentukan oleh dua kekuatan pasar, yaitu penawaran investasi dan permintaan investasi.

Apa yang menjadi objek penawaran dan permintaan investasi? Jawaban dari pertanyaan ini menjadi sangat penting dalam memahami konsep investasi, dimana konsep ini, Secara sederhana yang menjadi objek dari pasar investasi adalah projek – projek investasi, yang menunjukkan berapa besar realisasi aktifitas usaha yang dilakukan oleh pemilik modal untuk memproduksi barang dan jasa. Merekalah, pemilik modal, yang menjadi inisiator wujudnya usaha – usaha yang menyediakan kebutuhan atau permintaan akan barang dan jasa. Namun dalam aktifitas pasar selama ini, ternyata terdapat segolongan pelaku ekonomi yang ingin ikut secara keuangan dalam proses usaha tersebut. Bahkan tak jarang keberadaan mereka menjadi urgen menentukan perkembangan kuantitas usaha (bisnis) yang ada, disamping memang inisiator tidak mampu memenuhi skala ekonomi dan produksi yang diinginkan oleh pasar, hal ini wujud akibat nature aktifitas ekonomi yang sejak dulu tidak pernah lepas dari kerangka kerjasama yang menguntungkan melalui proses sharing baik risiko, untung maupun rugi.

Pada aplikasinya, keseimbangan keduanya kemudian akan membentuk tingkat ekspektasi keuntungan (expected return) pada pasar investasi. Keterlibatan pemilik modal (yang membentuk permintaan investasi) yang menanamkan dananya dalam projek investasi pada gilirannya akan membentuk informasi pasar tentang ekspektasi keuntungan dalam berusaha.

Dalam aplikasi investasi sector riil konvensional juga lazimnya memang berbeda dengan aplikasi syariah. Di konvensional aktifitas investasi lekat dengan konsep bunga dimana setiap investasi yang terjadi diasumsikan selalu berakhir untung (positif). Investasi konvensional tidak mengakomodasi kemungkinan rugi. Berbeda dengan syariah, system ini menggunakan konsep bagi hasil dimana asumsi dasarnya adalah kefitrahan usaha yang dapat untung dan dapat pula rugi.

Hubungan investasi dengan tingkat bunga ini bukannya tak memiliki kelemahan, fungsi I = Io – gi sudah banyak dianalisa dan diungkapkan kelemahan-kelemahannya oleh pakar-pakar ekonomi konvensional itu sendiri. Dan bahkan beberapa pakar memiliki bukti empiris atau kesimpulan dalam beberapa artikel ilmiah mereka bahwa hubungan investasi dan tingkat bunga sangatlah lemah.

Perlu diakui bahwa konsep pasar investasi ini perlu dikaji lebih mendalam relevansi dan kemapanan teorinya, namun penulis mengharapkan konsep ini mampu menjadi referensi pengembangan selanjutnya atau bahkan menjelaskan beberapa hal dalam hipotesa – hipotesa fenomena ekonomi Islam, baik prilaku ekonomi pada skala mikro maupun kecenderungan system pada skala makro.

Penawaran projek investasi dalam perspektif Islam secara garis besar bersumber dari investasi yang inisiatifnya berasal dari sektor swasta (Ip), pemerintah (Ig) dan social (Iso). Dari sector swasta, pelaku ekonomi akan memulai usaha dengan ekspektasi keuntungan yang mereka perhitungkan pada masa yang akan datang. Berapapun tingkat ekspektasi keuntungan sepanjang keuntungan tersebut tidak negative (≥ 0), maka seorang pengusaha akan melakukan usaha bisnis. Dengan kata lain inisiatif atau preferensi usaha seorang pelaku bisnis tidak terpaku pada tingkat keuntungan tertentu.[1] Disamping itu ada juga investasi yang ditawarkan oleh pemerintah (Ig), dengan karakteristik investasi yang lebih pada pembangunan infrastruktur atau fasilitas – fasilitas publik. Atau tidak jarang pada investasi di sektor-sektor sumber daya ekonomi yang vital bagi negara, seperti minyak dan gas bumi, pembangkit listrik, informasi dan lain-lain. Selain itu investasi juga dapat berasal dari masyarakat itu sendiri melalui mekanisme sosial Islam (Iso). Dalam hal ini instrumen sosial Islam yang sangat lekat dengan investasi sosial adalah instrumen wakaf. Peran dan fungsi wakaf secara umum adalah sebagai sumber investasi sosial bagi masyarakat. Investasi sosial tersebut meliputi pengadaan pelayanan medis (klinik, puskesmas, obat murah dan lain-lain), tempat ibadah, jembatan, sekolah dan lain sebagainya. Keberadaan wakaf betul-betul merupakan inisiatif masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan tingkat keimanan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, penawaran investasi dapat digambarkan dengan menggunakan model investasi sebagai berikut:

Is = Ip + Ig + Iso

Penawaran investasi ini bersifat autonomous, dimana besarnya relatif tidak tergantung pada keuntungan ekspektasi (expected return – Er). Hal ini mengakibatkan gambaran kurva penawaran investasi menjadi vertikal, yang bermakna berapapun perubahan ekspektasi keuntungan tidak membuat jumlah penawaran investasi berubah. Jumlah penawaran investasi lebih disebabkan inisiatif pelakunya yaitu pelaku bisnis, pemerintah dan sektor sosial.

Sementara itu permintaan investasi cenderung terdiri atas dua komponen. Yang pertama komponen investasi autonomous (Io) yang tidak tergantung pada variabel lain, boleh jadi komponen ini ada akibat preferensi investor untuk berinvestasi dengan motif bersifat individual (keinginan diri sendiri - Iriil) dan sosial (amal shaleh – Iamal shaleh). Permintaan akan investasi sosial ini pula yang kemudian menimbulkan respon adanya penawaran projek – projek investasi bersifat sosial.

Sedangkan yang kedua investasi yang tergantung pada besar kecilnya ekspektasi keuntungan. Investasi ini muncul disebabkan oleh kecenderungan pemilik modal ingin mempertahankan (termasuk menambah) tingkat kekayaan yang mereka miliki, karena pada tingkat kekayaan tertentu para investor yang notabene adalah muzakki akan terekspose oleh risiko zakat. Artinya zakat akan mengurangi jumlah kekayaan mereka ketika kekayaan mereka mencapai atau melebihi jumlah tertentu (nishab). Oleh sebab itu, sebagai tindakan balik dalam rangka mempertahankan tingkat kekayaanya, maka seorang investor/muzakki memiliki pilihan yaitu memberdayakan kekayaannya untuk memperoleh keuntungan atau menambah kekayaan mereka. Dalam perspektif lain penggunaan kekayaan investor/muzakki sebenarnya adalah membuka peluang individu lain untuk memperoleh manfaat dari kekayaan mereka. Seperti mereka yang tidak memiliki modal tapi memiliki keahlian dalam berbagai usaha bisnis atau ekonomi. Dengan demikian, model permintaan investasi dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut:

Id = Io + h(Er)

Dimana: h = sensitifitas permintaan terhadap Er Io = kW + lW; k + l = 1, atau Io = Iriil + Iamal shaleh

Dimana: Iriil = kW Iamal Shaleh = lW k = bagian kekayaan yang diinvestasikan bermotif pribadi l = bagian kekayaan yang diinvestasikan bermotif sosial W = kekayaan (Wealth)

Pada sisi permintaan investasi, keikutsertaannya kelompok pemilik modal tergantung pada keberadaan usaha yang telah ada dipasar, dimana mereka menempatkan sebagian modalnya (uang) pada usaha yang ada, sehingga besar – kecil jumlah investasi atau penanaman modal mereka pada projek investasi tergantung pada besar – kecil ekspektasi keuntungan yang ada. Semakin besar ekspektasi keuntungan, maka akan semakin besar permintaan terhadap projek investasi tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika ekspektasi keuntungan kecil, maka permintaan projek investasi pun akan turun. Seberapa besar penurunan permintaan investasi sangat tergantung pada tingkat sensitifitas permintaan tersebut terhadap pergerakan naik – turunnya ekspektasi keuntungan.

Dari interaksi keduanya, keseimbangan antara permintaan dan penawaran investasi membentuk atau menentukan ekspektasi keuntungan dipasar (investasi). Dari aktifitas investasi inilah kemudian mampu menjelaskan dukungan sektor ini terhadap aktifitas ekonomi riil di pasar barang dan jasa. Oleh karena aktifitas investasi merupakan aktivitas dominan dalam pasar modern saat ini, akan sangat beralasan memasukkan sektor ini dalam penjelasan keseimbangan umum ekonomi Islam. Pada bab – bab selanjutnya pembahasan sektor investasi ini akan semakin detil dijabarkan. Karena membahas sektor keuangan Islam tidak mungkin dijelaskan menggunakan model seperti apa yang konvensional miliki, sehingga diperlukan model yang yang sejalan dengan nilai-nilai moral dan ketentuan – ketentuan hukum syariah Islam.

Nilai – nilai moral berikut ketentuan – ketentuan hukum syariah Islam dapat dilihat modelnya atau realisasinya jika ia diwujudkan dalam prilaku – prilaku ekonomi. Dan sebenarnya proses memadankan prilaku ekonomi manusia dengan nilai moral dan ketentuan hukum syariah Islam inilah yang merupakan titik krusial dalam teori prilaku ekonomi Islam. Proses tersebut bahkan sewajarnya menjadi asumsi dasar atas bangunan teori ekonomi Islam.

Hal ini terjadi juga atas asumsi bahwa individu yang memahami nilai – nilai Islam melakukan inisiatif usaha, selain mempertimbangkan tingkat keuntungan tapi juga melihat kemashlahatan yang bias diberikan kepada individu lain disekitarnya. Mungkin dengan tingkat keuntungan sama dengan 0 pun seorang pelaku bisnis akan memulai usahanya jika pada saat yang sama ia merasa akan banyak keuntungan yang diambil oleh lingkungannya.